Bondowoso, Media Al-Ishlah – Jum’at (24/2/2023) Dewan Redaksi dan Wartawan Majalah Media Al-Ishlah berkesempatan ngobrol bersama Ustadzah Afifah Afra. Penulis yang sejak pagi dan siang menjadi pemateri pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh pengurus SILAH Putri (Organisasi Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah).
Ustadzah Afifah Afra memberikan otokritik kepada dirinya dan umat Islam secara umum. Dia memulai dengan mengenang, dulu pernah media Islam begitu jaya. Mulai dari Majalah Almuslimun, Majalah Sabili, Majalah Waqfah, Majalah ummi, Majalah Annida, dan lainnya yang kuat sampai saat ini hanya Majalah Hidayatullah.
Yang mana, majalah-majalah tersebut adalah media-media Islam berbobot mewarnai generasi Muslim saat itu, yang tidak hanya membahas Islam sebatas kulitnya saja. Sedangkan, saat ini di kalangan muslim muda pemikiran dan ghirah Islam mulai menurun, salah satu penyebabnya adalah banyaknya media Islam tumbang. Tidak seperti awal tahun 90an, di mana media Islam tumbuh dengan sangat bagus.
Baca juga: Penuh Haru Air Mata Bahagia di Tasmi’ Setoran Terakhir 30 Juz Santri Kelas Akhir KMI
Hal ini menunjukkan, bahwa media itu sangat penting dalam dakwah dan dalam penyebaran fikrah (pemikiran). “Media adalah pilar yang sangat penting dalam dakwah, penyebaran pemikiran. Tapi, umat Islam saat ini masih belum fokus mengelola media,” jelas Ustadzah Afra.
Media masih dianggap hanya sebagai pelengkap, sedikit umat Islam yang kaya memperhatikan media, misal dengan membeli atau wakaf alat cetak. Padahal menurut Ustadzah Afra, saat ini media bukan hanya dakwah bil qalam (dakwah dengan pena/tulisan), akan tetapi telah menjadi jihad bil qalam (jihad dengan pena/tulisan). “Urgensi sekarang itu menurut saya media itu bukan hanya dakwah bil qalam, malah jihad bil qalam,” ungkap penulis 67 buku tersebut.
Saat menjabat sebagai ketua umum FLP (Forum Lingkar Pena), Ustadzah Afra melakukan shilaturrahim, ke MUI, Baznas, Rumah Zakat dan lainnya, dengan mengeluhkan kenapa media itu tidak dihidupkan di ummat. “Kenapa ummat Islam tidak punya media yang bagus, padahal ummat Islam memiliki banyak uang?”
Jawaban yang didapatkan adalah media dibiarkan sebagai lembaga profit, Muslim yang kaya memberi modal dan uang akan berputar dan mendapatkan keuntungan. Padahal hari ini, perusahaan media tidak bisa menjadi lembaga profit.
Fakta di lapangan juga mengatakan, bahwa media yang masih bertahan sampai hari ini adalah media yang berdiri sebagai lembaga nonprofit, dan dananya dari donasi banyak donatur, misalnya adalah Koran Guardian yang ada di Inggris.
Sebagai orang yang pernah berkecimpung di media namun belum berhasil, Ustadzah Afra pernah mendirikan majalah sebanyak tiga kali, terakhir kali mendirikan majalah untuk remaja Muslim, Majalah Gizone.
Sehingga, Ustadzah Afra malah mengira kebangkitan media Islam, bisa jadi dari Majalah Media Al-Ishlah, “Jangan-jangan kebangkitan media Islam, dimulai dari Majalah Media Al-Ishlah, bukan dari kami yang menjadi pelaku bisnis,” harap Dewan Pertimbangan Forum Lingkar Pena tersebut dan diamini oleh para audiens.
Karenanya, Ustadzah Afra berharap Pondok Pesantren Al-Ishlah tetap mempertahankan Majalah Media Al-Ishlah sebagai salah satu media perjuangan. “Saya berharap Majalah Media Al-Ishlah ini tetap dipertahankan, kalau perlu diperluas, dan untuk perkembangan bisa dijual dimulai dari daerah tapal kuda. Menurut saya, sebagai sebuah majalah, Majalah Media Al-Ishlah sudah menarik,” nilai CEO Penerbit Indiva Media Kreasi tersebut.
Lebih dari itu, Ustadzah Afra juga mengarahkan akan lebih baik jika Majalah Media Al-Ishlah juga memiliki website khusus agar persebaran informasi dan dakwah lebih massif. “Dibuat kombinasi saja, dengan membuat website khusus untuk Majalah Media Al-Ishlah yang dikelola dengan bagus. Saya kira, dengan begitu konten dalam majalah ini akan lebih luas lagi penyebarannya, dan bisa dibaca oleh banyak orang,” imbuh penulis buku best seller And The Star is Me itu.
Selain itu Ustadzah Afra juga berharap jurnalis majalah media Al-Ishlah itu menjadi jurnalis yang handal. Jurnalis yang benar-benar memverifikasi berita, benar-benar cek dan ricek, dan tabayyun berita yang ada. Karena, tidak sedikit yang mengatakan bahwa orang Islam itu penyebar hoax.
Padahal, muhadits dan ilmu hadits mengajarkan kita untuk cek dan ricek dengan benar. “Dalam ilmu hadits soal verifikasi dan memverifikasi itu lebih ketat, ketimbang ilmu jurnalistik dan apa yang dilakukan para jurnalis saat ini. Tapi kenapa kok malah kita sering menyebar hoax?” tanya sekaligus menjadi muhasabah dari Ustadzah Afra.
Pesan Ustadzah Afra, selain skill mencari berita, skill menulis berita juga harus dikuatkan. Namun, skill menulis itu akan bertumbuh dengan berjalannya waktu. Yang harus dilakukan adalah banyak membaca. “Karena menulis itu adalah 75% membaca dan 25%nya adalah menulis,” jelas Ustadzah Afra mengutip perkataan salah satu redaktur harian Kompas, Putu Fajar Arcana.
Menurutnya, adanya kesulitan menulis itu karena tidak punya bahan baca. “Menulis adalah alat untuk menyampaikan gagasan, skill menulis itu gampang. Yang terpenting adalah apa yang mau ditulis, itulah kenapa harus banyak membaca,” jelas penulis yang melanjutkan magister sains psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta itu.
Itulah mengapa Ustadzah Afra mengatakan media dan pustaka menjadi bagian penting dalam hidup ummat Islam. Perpustakaan pribadi harus ada di rumah masing-masing, Ustadzah Afra mengutip dari Ibnu al-Jauzi, ulama yang menulis 2.000 jilid buku, masterpiecenya adalah, kitab atau buku Shaid al-Khatir.
Di dalam buku tersebut Ibnu al-Jauzi menasehati orang alim dan pencari ilmu (santri/murid), “Sebaiknya kamu mempunyai kamar/ruangan khusus (perpustakaan) di rumahmu menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu, dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu.”
“Alhamdulillah, saya menerapkan ini di rumah. Di perpustakaan rumah saya, ada sekitar 5.000an buku,” ungkap Ustadzah Afra.
Tidak hanya kepada wartawan Majalah Media Al-Ishlah, Ustadzah Afra juga berharap para santri lebih banyak nongkrong di perpustakaan. “Semoga nantinya perpustakaan di Al-Ishlah menjadi ramai, menjadi tempat nongkrong para santri. Pemuda itu harus pandai menulis, banyak berfikir dan banyak merenung,” jelas Ustadzah Afra.
Ustadzah Afra mengajak melihat Abbasiyah dan Andalusia yang membangun peradaban yang besar dengan literasi. Namun, hanya kuat literasi dan lupa menguatkan militer, sehingga kalah diserang musuh.
Sedangkan Turki Utsmani fokus menguatkan militer, dan kurang menguatkan literasi. Akhirnya mudah hancur diserang oleh musuh yang sudah memiliki senjata perang mutakhir atau paling canggih pada saat itu, yang senjata itu dihasilkan dari literasi.
“Karenanya, selain kuat fisiknya, santri Al-Ishlah harus juga kuat literasinya,” ungkap Ustadzah Afra.
Selain skill, Ustadzah Afra juga mengingatkan pentingnya visi media Islam dan jurnalis muslim. “Visi bahwa media itu merupakan bagian penting dari dakwah itu harus dikuatkan. Karenanya, mengelola media tidak boleh separuh-paruh, harus totalitas,” ujarnya.
Itulah kenapa Ustadzah Afra mengatakan bahwa redaksi dan jurnalis majalah Media Al-Ishlah penting untuk memiliki mimpi. Selain itu harus ada doktrin, yang diambil dari slogan para aktivis dakwah yaitu kita adalah dai sebelum apapun.
Baca juga: Meski Hujan Deras, Penyaluran Nasi Kotak Untuk Tukang Becak Tetap Berjalan, LAZISWAFA On Fire
“Kita di Majalah Media Al-Ishlah, harus tercelup satu doktrin bahwa, ‘Kita adalah pejuang media sebelum segala sesuatu.’ Visi ini kita tanam betul-betul ya. Mungkin nanti ketika teman-teman telah lulus, jadi ustadz, jadi dokter, jadi pengusaha dan lain sebagainya. Doktrin ‘kita adalah pejuang media sebelum apapun,’ tetap dianut ya. Sehingga kita selalu berfikir, kita akan selalu gelisah. Bagaimana cara kita membuat sebuah media yang kuat, media yang kokoh. Media yang punya pengaruh kuat di dalam membangun ummat,” harap Ustadzah Afra.
Ustadzah Afra miris dengan beberapa orang kaya Muslim yang memiliki media, namun tidak ada keberpihakannya pada ummat. “Dan saya rasa, Al-Ishlah dan Majalah Media Al-Ishlah punya potensi untuk memimpin. Sebagai media yang pro ummat nantinya,” pungkas penulis novel epik-islami laris, tetralogi De Winst.
Reporter: M. R. Ridho
Fotografer: Perengki Yansah, M. Nur Qosim